Tuesday 28 August 2012

Kronologi Ibu Kota Negara Indonesia Pindah Ke Yogyakarta

25 September 1945, Belanda yang tak mengakui kemerdekaan Republik Indonesia melancarkan Agresi Militer I. Pasukan kompeni mendarat di Jakarta dengan cara membonceng sekutu. Jakarta kocar-kacir dan tidak kondusif. Sebanyak  8.000 orang terbunuh. Bahkan nyawa Perdana Menteri Sutan Sjahrir pun sempat terancam.

Dalam kondisi seperti itu, Raja Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono IX mengirim kurir ke Jakarta. Sultan menawarkan kepada Sukarno-Hatta untuk memindahkan ibu kota ke Yogya karena situasi Jakarta yang gawat

Sukarno-Hatta akhirnya bersedia menerima tawaran itu. Maka, pada 4 Januari 1946, pindahlah ibu kota Republik ke Yogya. Peristiwa itu tercatat sebagai perpindahan ibu kota RI untuk pertama kalinya ke luar Jakarta

Karena bersejarahnya peristiwa itu, UGM melalui Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri memperingatinya setiap tahun sejak 2007 lalu. “UGM lahir karena ada Republik Yogya, lahir dan total difasilitasi oleh Keraton Yogya,” kata Soenaryo, kepala pusat

Menurut Soenaryo, Yogya dipilih Sukarno-Hatta karena angkatan perang RI paling kuat berada di kota gudeg. Yogya juga mempunyai pangkalan udara Maguwo (kini Adisutjipto). Selain itu, media komunikasi termasuk radio dan surat kabar tersedia di Yogya

Yang terpenting, Sultan dan Paku Alam berada di barisan pertama pendukung Proklamasi RI. Masyarakat Yogya juga paling siap menyambut kemerdekaan RI. Khotbah-khotbah Jumat di masjid berisi pengumuman kemerdekaan

“Sore hari, Ki Hajar Dewantara dengan murid-muridnya pawai keliling kota mewartakan kemerdekaan Indonesia,” kata Soenaryo.

Selama pemerintahan RI “numpang” di Yogya, kegiatan kabinet dan diplomasi bertempat di Gedung Negara. Sukarno tinggal di Puro Pakualaman, sementara Hatta di Reksobayan. Beberapa perlengkapan kegiatan negara juga meminjam dari keraton.

Itu berlangsung dari tahun 1946 hingga tahun 1949. Pada Desember 1948, setelah Persetujuan Renville gagal, Belanda merangsek ke Yogya. Pada masa Agresi Militer II itu, Sukarno-Hatta ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka.

Namun, sebelum Sukarno-Hatta ditawan, keduanya mengirim dua kawat. Kawat pertama ditujukan kepada Mr. A.A. Maramis di India agar merancang pemerintahan RI di pengasingan. Kawat kedua dikirim ke Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang berada di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.

Sampai tidaknya kawat itu masih kontroversial. Namun, Sjafruddin kemudian membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). PDRI berdiri pada 22 Desember 1948, di sebuah kebun teh Halaban, 15 km dari Payakumbuh. Lalu disiarkan melalui radio bahwa pemerintah RI tetap ada dan bersifat mobile.

Ibu kota pun otomatis beralih ke Sumbar. Karena Halaban tak aman, Sjafruddin berpindah tempat. Selama dua minggu lebih, ia menyusuri sungai dan hutan belantara untuk mencari tempat aman. Ia lalu menetapkan Bidar Alam sebagai kedudukan pimpinan pusat PDRI

PDRI berumur sekitar enam bulan 21 hari. Pasca Yogya dapat direbut dari tangan Belanda, dan Sukarno-Hatta dibebaskan, Sjafruddin menyerahkan kembali mandatnya. Penyerahan kekuasaan itu dilakukan dalam sebuah rapat kabinet tanggal 13 Juli 1949

“Sukarno pada bulan Desember 1949 kembali ke Jakarta,” ujar sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam.

sumber : detik

2 comments:

  1. ijin share y bro ;)
    ibukota pindah ke jakarta, apakah masyarakat sudah siap ???

    nah, wacana ibu kota akan ke jogja kian santer nih ...

    ReplyDelete
  2. Silahkan bro....semoga bermanfaat

    ReplyDelete