Friday 27 July 2012
Iran Rampungkan Kapal Tanker Pertamanya
Kapal tanker Aframax pertama produksi
dalam negeri Iran dan pesanan Venezuela telah diapungkan dan siap untuk
beroperasi. Dengan demikian, produksi Aframax menandai bergabungnya Iran
ke dalam barisan negara-negara produsen kapal tanker raksasa.
Fars News (24/7) melaporkan, acara pengapungan kapal tanker tersebut
dihadiri oleh imam shalat Jumat, gubernur, dan para pejabat Propinsi
Bushehr, serta direktur utama perusahaan industri perkapalan Sadra
Bushehr.
Direktur utama perusahaan industri perkapalan Sadra Bushehr, Salman
Zarbi mengatakan, "Kapal Aframax yang merupakan pesanan dari Venezuela,
diproduksi oleh para tim ahli Iran. Kapal ini memiliki panjang 250
meter, lebar 44 meter, dan tinggi 21 meter.
Ditambahkannya, "Kapasitas kapal tanker tipe Aframax ini adalah 113
ribu ton dengan kecepatan 16 knot dan dalam produksinya dilakukan
pengelasan sepanjang 328 kilometer."
Kapasitas angkut Aframax mencapai 750 barel minyak mentah.
Perwakilan dari pihak Kementerian Perminyak Venezuela juga hadir dalam
acara tersebut dan mengatakan, "Hari ini adalah hari yang tidak akan
pernah terlupakan bagi kami dan Venezuela karena kita berhasil mencapai
tujuan besar ini.
Ditambahkannya, "Sekarang, setelah kerja keras dan pengorbanan para
pekerja dan tim ahli, akhirnya kita berhasil menggapai tujuan besar di
Bushehr."
Seraya mengapresiasi dukungan Presiden Venezuela dalam mendukung kapal
tanker Aframax ini, pejabat Kementerian Perminyakan Venezuela ini juga
mengatakan, "Kami mengucapkan selamat kepada para pekerja dan ahli penuh
semangat perusahaan Sadra Iran atas kesuksesan besar ini
sumber : irib
Wednesday 25 July 2012
Menjelang Ramadhan 492 H di al-Quds
"Ketika
kota itu jatuh ke tangan pasukan Salib, kaum Muslimin bukanlah bangsa
yang lemah. Sebetulnya mereka memiliki kekuatan dan kemampuan untuk
menahan serangan lawan. Hanya saja para pemimpin mereka sibuk
mempertahankan kekuasaan masing-masing dan banyak ulamanya dilenakan
dengan perselisihan madzhab. Masyarakat yang terdzalimi dan terancam
kehidupannya tidak tahu kemana mereka mesti mengadu"
BEBERAPA hari
menjelang Ramadhan, 913 tahun yang lalu, kota al-Quds (Yerusalem) jatuh
ke tangan pasukan Salib. Peristiwa ini terjadi pada Perang Salib
pertama dan menjadi sesuatu yang sangat menyedihkan dunia Islam pada
masa itu.
Pasukan Salib yang dipimpin oleh Raymond of Saint-Gilles, Godfrey of
Buillon, dan beberapa bangsawan Prancis dan Italia lainnya itu memang
menjadikan al-Quds sebagai sasaran utama mereka. Mereka berangkat sejak
pertengahan tahun 1096, sebagai respons atas seruan Paus di Roma untuk
merebut al-Quds dan membantu Byzantium dalam menghadapi tentara Turki
Saljuk. Setelah berkumpul di Konstantinopel (kini bernama Istambul),
mereka bergerak ke Asia Minor dan menaklukkan kota Nicaea pada bulan
Juni 1097.
Nicaea ketika itu merupakan ibukota Kesultanan Rum, salah satu
kesultanan Bani Saljuk. Pada tahun berikutnya, Juni 1098, mereka
berhasil merebut kota Antioch (Antakya) di utara Suriah, setelah
mengepungnya selama sembilan bulan. Dan setahun setelahnya, awal Juni
1099, tentara Salib tiba di depan tembok al-Quds.
Ketika itu al-Quds berada di bawah kendali Dinasti Fatimiyah yang berpusat di Mesir.
Pasukan Salib mengepung beberapa bagian kota itu. Mereka membangun
menara kayu untuk menembus benteng kota. Mereka berdoa dan melakukan
upacara keagamaan dengan berjalan mengelilingi al-Quds tanpa mengenakan
alas kaki, sementara kaum Muslimin memperhatikan dari atas tembok kota.
Mereka berjuang di tengah teriknya musim panas pertengahan tahun itu,
dengan terus mengenakan baju perang, serta adanya keterbatasan akses
terhadap air.
Dengan semangat dan kesungguh-sungguhan, pasukan Salib akhirnya
berhasil memasuki tembok kota al-Quds dari bagian utara. Hal ini terjadi
pada pagi atau siang hari Jum’at tanggal 15 Juli 1099, bertepatan
dengan 23 Sha’ban 492 H. Maka, kota ini pun jatuh ke tangan pasukan
Kristen Eropa hanya seminggu menjelang masuknya bulan Ramadhan.
Sementara biasanya banyak peziarah Muslim yang datang ke kota ini untuk menetap selama bulan Ramadhan.
Apa yang terjadi setelah itu? Sebagian pembaca mungkin sudah pernah
mendengarnya. Puluhan ribu kaum Muslimin yang berada di kota ini dibunuh
secara kejam, tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan,
serta antara orang dewasa dengan orang tua dan anak-anak. Pembantaian
terjadi selama tiga hari hingga satu minggu. Berikut ini merupakan
penjelasan beberapa sejarawan terkait dengan peristiwa tersebut:
Fulk of Chartes, salah satu saksi sejarah dan penulis kisah Perang Salib I menjelaskan, “Banyak yang melarikan diri ke atap Kuil Sulaiman, dan mereka dipanah hingga jatuh ke tanah dan mati. Di tempat ini hampir sepuluh ribu orang yang terbunuh. Sungguh, jika kalian berada di sana kalian akan melihat kaki-kaki kami berwarna (merah) hingga ke lutut disebabkan darah korban. Tapi seperti apa lagi saya akan menjelaskannya? Tak satu pun dari mereka yang dibiarkan hidup; tak satu pun perempuan dan anak-anak yang disisakan....”
Ibn al-Athir dalam kitab Tarikh-nya menulis, “Di Masjid al-Aqsa orang-orang Frank membunuh lebih dari tujuh puluh ribu orang, sebagian besar dari mereka adalah para imam, ulama, orang-orang shaleh dan para sufi serta kaum Muslimin yang meninggalkan negeri tempat tinggal mereka dan datang untuk menjalani kehidupan yang shaleh pada bulan Agustus/ Ramadhan ini.”
Fulk of Chartes, salah satu saksi sejarah dan penulis kisah Perang Salib I menjelaskan, “Banyak yang melarikan diri ke atap Kuil Sulaiman, dan mereka dipanah hingga jatuh ke tanah dan mati. Di tempat ini hampir sepuluh ribu orang yang terbunuh. Sungguh, jika kalian berada di sana kalian akan melihat kaki-kaki kami berwarna (merah) hingga ke lutut disebabkan darah korban. Tapi seperti apa lagi saya akan menjelaskannya? Tak satu pun dari mereka yang dibiarkan hidup; tak satu pun perempuan dan anak-anak yang disisakan....”
Ibn al-Athir dalam kitab Tarikh-nya menulis, “Di Masjid al-Aqsa orang-orang Frank membunuh lebih dari tujuh puluh ribu orang, sebagian besar dari mereka adalah para imam, ulama, orang-orang shaleh dan para sufi serta kaum Muslimin yang meninggalkan negeri tempat tinggal mereka dan datang untuk menjalani kehidupan yang shaleh pada bulan Agustus/ Ramadhan ini.”
“… tak ada usia ataupun jenis kelamin yang selamat dari amukan mereka,” kata Edward Gibbon dalam History of the Decline And Fall of the Roman Empire. “Mereka melakukan pembantaian selama tiga hari tanpa memilah atau memilih (siapa yang layak dibunuh dan siapa yang tidak)…. Setelah tujuh puluh ribu Muslim dibunuh, dan orang-orang Yahudi yang tak berbahaya dibakar di dalam sinagog mereka, mereka masih memiliki sisa tawanan yang sangat banyak....”
Sementara itu Joseph Francois Michaud, seorang Sejarawan Prancis, menulis dalam bukunya yang dikenal sebagai Michaud’s History of the Crusade, “Tak
satu pun air mata kaum perempuan maupun jeritan tangis anak-anak,
bahkan tak juga pemandangan atas tempat di mana Yesus telah memaafkan
orang-orang yang mengeksekusinya (dahulu), mampu melembutkan hati para
penakluk yang sedang marah ini.”
Semua itu sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan apa yang telah terjadi di al-Quds pada masa itu. Dan pasukan Salib yang telah melumuri tangannya dengan darah banyak manusia ini tidak menganggap apa yang mereka lakukan itu sebagai sesuatu yang buruk atau kedzaliman yang besar. Seolah semuanya biasa saja. “Setelah itu,” kata Fulk of Chartes, “semuanya, para pendeta dan orang-orang biasa, pergi ke Gereja Makam Tuhan (the Sepulcher of the Lord) dan kuilnya yang suci, sambil menyanyikan kidung (gereja) yang kesembilan.”
Kaum Muslimin tidak melakukan hal semacam ini ketika mereka menaklukkan al-Quds dan Palestina pada masa Umar ibn al-Khattab. Penduduk Kristen dan Yahudi di kota itu diperlakukan dengan baik oleh kaum Muslimin sepanjang kota dan wilayah itu dikendalikan oleh kaum Muslimin. Kelak ketika al-Quds direbut kembali oleh Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 1187, beliau juga memperlakukan penduduk non-Muslim di kota itu dengan baik. Tidak ada balas dendam atau pembantaian yang dilakukan atas penduduk non-Muslim di sana. Sebaliknya, jatuhnya al-Quds pada tahun 1099 ke tangan pasukan Salib benar-benar merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang besar.
Ketika kota itu jatuh ke tangan pasukan Salib, kaum Muslimin bukanlah bangsa yang lemah. Sebetulnya mereka memiliki kekuatan dan kemampuan untuk menahan serangan lawan. Hanya saja para pemimpin mereka sibuk mempertahankan kekuasaan masing-masing dan banyak ulamanya dilenakan dengan perselisihan madzhab. Masyarakat yang terdzalimi dan terancam kehidupannya tidak tahu kemana mereka mesti mengadu.
Kira-kira satu bulan kemudian, pada bulan Ramadhan, bertepatan dengan pertengahan Agustus 1099, serombongan masyarakat berangkat dari Damaskus menuju Baghdad, dipimpin oleh Qadi kota Damaskus, Abu Sa’ad al-Harawi. Sesampainya di Baghadad, al-Harawi melakukan sebuah tindakan provokatif untuk memancing emosi kaum Muslimin. Ketika itu hari Jum’at, 19 Agustus 1099, menjelang tengah hari. Orang-orang berbondong-bondong menuju Masjid Jami’ kota Baghdad.
Al-Harawi sengaja duduk di dekat masjid, di tempat yang bisa dilihat oleh banyak orang. Dan dia makan di tempat umum tersebut, ketika semua orang sedang berpuasa. Hal semacam ini jika dilakukan pada hari ini di negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim tetapi secara resmi berpaham sekuler, tentu akan tetap menimbulkan kemarahan orang banyak. Apalagi jika ia dilakukan di Baghdad, di pusat kekhalifahan Islam, pada masa itu. Al-Harawi sebagai seorang musafir tentu dibolehkan tidak berpuasa, tetapi orang-orang tidak mengetahui hal ini, dan makan di tempat terbuka di siang hari pada bulan Ramadhan merupakan sebuah pelanggaran etika sosial yang dipandang cukup serius.
Maka orang-orang pun mengerumuni al-Harawi. Mereka menegur dan marah kepadanya. Tapi al-Harawi tetap melanjutkan makannya dengan tenang. Tak lama kemudian petugas keamanan yang berada di dekat situ mulai datang ke tempat itu. Pada saat itulah al-Harawi bangkit berdiri di tengah kerumunan orang ramai. Dengan kemampuan orasinya yang bagus ia bertanya kepada khalayak ramai, bagaimana mungkin mereka bisa begitu peduli dengan pelanggaran puasa di bulan Ramadhan, tetapi pada saat yang sama mereka nyaris tidak peduli dengan pelanggaran dan pertumpahan darah yang menimpa saudara-saudara mereka di al-Quds dan sekitarnya? Bagaimana mereka bisa tetap tenang seolah tidak terjadi apa-apa di sana? Ia memberikan orasi, menceritakan apa yang telah terjadi, dan membacakan syair-syair yang menyentuh, sehingga semua orang menjadi tertegun dan menangis karenanya.
Al-Harawi dan rombongannya kemudian pergi menemui Khalifah di istananya. Khalifah dan orang-orang dekatnya menerima rombongan ini, mendengarkan kisah dan ekspresi kesedihan mereka, sehingga ikut menangis juga saat mendengar semua itu. Tapi masalahnya, khalifah pada masa itu tidak memiliki kekuasaan yang riil untuk membantu kaum Muslimin di Syria dan Palestina. Tidak ada tindakan nyata yang diambil setelah itu. Maka orasi dan protes al-Harawi dan rombongannya hanya berujung pada tangisan manusia, atau mungkin juga doa dari mereka, tidak lebih dari itu.
Demikianlah nasib al-Quds ketika itu. Ia jatuh ke tangan pasukan Salib dan dikusai oleh mereka selama hampir satu abad. Kota ini perlu menunggu waktu yang cukup lama sebelum muncul kekuatan baru di Syria yang siap dan mampu untuk membebaskannya.
Kini al-Quds pun telah sekian dekade dikuasai oleh zionis. Kaum zionis ini pun banyak melakukan pembunuhan dan perilaku keji terhadap rakyat sipil yang ada di Palestina. Dan Muslim pada hari ini tidak memiliki kemampuan untuk membebaskannya. Mereka lemah dan sibuk memperlemah diri sendiri. Seolah-olah kelemahan yang ada belum mencukupi bagi mereka. Banyak dari Muslim hari ini pun mungkin hanya sanggup berdoa dan menangis saat mendengar apa yang terjadi di Palestina, ataupun di bumi-bumi Muslim yang lain. Bahkan mungkin banyak dari mereka yang tak peduli. “Toh mereka bukan saudara atau kawan saya,” gumam sebagian mereka, sambil sibuk mengirim dukungan SMS untuk salah satu kontestan Indonesian Idol atau sambil terkagum-kagum membolak-balik halaman buku yang ditulis oleh Irshad Manji.
Sejarah memang sering berulang. Dan seolah-olah syair yang ditulis oleh seorang penyair pada masa itu, sebagai respons atas kejatuhan al-Quds, kembali bergema pada hari ini:
Semua itu sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan apa yang telah terjadi di al-Quds pada masa itu. Dan pasukan Salib yang telah melumuri tangannya dengan darah banyak manusia ini tidak menganggap apa yang mereka lakukan itu sebagai sesuatu yang buruk atau kedzaliman yang besar. Seolah semuanya biasa saja. “Setelah itu,” kata Fulk of Chartes, “semuanya, para pendeta dan orang-orang biasa, pergi ke Gereja Makam Tuhan (the Sepulcher of the Lord) dan kuilnya yang suci, sambil menyanyikan kidung (gereja) yang kesembilan.”
Kaum Muslimin tidak melakukan hal semacam ini ketika mereka menaklukkan al-Quds dan Palestina pada masa Umar ibn al-Khattab. Penduduk Kristen dan Yahudi di kota itu diperlakukan dengan baik oleh kaum Muslimin sepanjang kota dan wilayah itu dikendalikan oleh kaum Muslimin. Kelak ketika al-Quds direbut kembali oleh Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 1187, beliau juga memperlakukan penduduk non-Muslim di kota itu dengan baik. Tidak ada balas dendam atau pembantaian yang dilakukan atas penduduk non-Muslim di sana. Sebaliknya, jatuhnya al-Quds pada tahun 1099 ke tangan pasukan Salib benar-benar merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang besar.
Ketika kota itu jatuh ke tangan pasukan Salib, kaum Muslimin bukanlah bangsa yang lemah. Sebetulnya mereka memiliki kekuatan dan kemampuan untuk menahan serangan lawan. Hanya saja para pemimpin mereka sibuk mempertahankan kekuasaan masing-masing dan banyak ulamanya dilenakan dengan perselisihan madzhab. Masyarakat yang terdzalimi dan terancam kehidupannya tidak tahu kemana mereka mesti mengadu.
Kira-kira satu bulan kemudian, pada bulan Ramadhan, bertepatan dengan pertengahan Agustus 1099, serombongan masyarakat berangkat dari Damaskus menuju Baghdad, dipimpin oleh Qadi kota Damaskus, Abu Sa’ad al-Harawi. Sesampainya di Baghadad, al-Harawi melakukan sebuah tindakan provokatif untuk memancing emosi kaum Muslimin. Ketika itu hari Jum’at, 19 Agustus 1099, menjelang tengah hari. Orang-orang berbondong-bondong menuju Masjid Jami’ kota Baghdad.
Al-Harawi sengaja duduk di dekat masjid, di tempat yang bisa dilihat oleh banyak orang. Dan dia makan di tempat umum tersebut, ketika semua orang sedang berpuasa. Hal semacam ini jika dilakukan pada hari ini di negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim tetapi secara resmi berpaham sekuler, tentu akan tetap menimbulkan kemarahan orang banyak. Apalagi jika ia dilakukan di Baghdad, di pusat kekhalifahan Islam, pada masa itu. Al-Harawi sebagai seorang musafir tentu dibolehkan tidak berpuasa, tetapi orang-orang tidak mengetahui hal ini, dan makan di tempat terbuka di siang hari pada bulan Ramadhan merupakan sebuah pelanggaran etika sosial yang dipandang cukup serius.
Maka orang-orang pun mengerumuni al-Harawi. Mereka menegur dan marah kepadanya. Tapi al-Harawi tetap melanjutkan makannya dengan tenang. Tak lama kemudian petugas keamanan yang berada di dekat situ mulai datang ke tempat itu. Pada saat itulah al-Harawi bangkit berdiri di tengah kerumunan orang ramai. Dengan kemampuan orasinya yang bagus ia bertanya kepada khalayak ramai, bagaimana mungkin mereka bisa begitu peduli dengan pelanggaran puasa di bulan Ramadhan, tetapi pada saat yang sama mereka nyaris tidak peduli dengan pelanggaran dan pertumpahan darah yang menimpa saudara-saudara mereka di al-Quds dan sekitarnya? Bagaimana mereka bisa tetap tenang seolah tidak terjadi apa-apa di sana? Ia memberikan orasi, menceritakan apa yang telah terjadi, dan membacakan syair-syair yang menyentuh, sehingga semua orang menjadi tertegun dan menangis karenanya.
Al-Harawi dan rombongannya kemudian pergi menemui Khalifah di istananya. Khalifah dan orang-orang dekatnya menerima rombongan ini, mendengarkan kisah dan ekspresi kesedihan mereka, sehingga ikut menangis juga saat mendengar semua itu. Tapi masalahnya, khalifah pada masa itu tidak memiliki kekuasaan yang riil untuk membantu kaum Muslimin di Syria dan Palestina. Tidak ada tindakan nyata yang diambil setelah itu. Maka orasi dan protes al-Harawi dan rombongannya hanya berujung pada tangisan manusia, atau mungkin juga doa dari mereka, tidak lebih dari itu.
Demikianlah nasib al-Quds ketika itu. Ia jatuh ke tangan pasukan Salib dan dikusai oleh mereka selama hampir satu abad. Kota ini perlu menunggu waktu yang cukup lama sebelum muncul kekuatan baru di Syria yang siap dan mampu untuk membebaskannya.
Kini al-Quds pun telah sekian dekade dikuasai oleh zionis. Kaum zionis ini pun banyak melakukan pembunuhan dan perilaku keji terhadap rakyat sipil yang ada di Palestina. Dan Muslim pada hari ini tidak memiliki kemampuan untuk membebaskannya. Mereka lemah dan sibuk memperlemah diri sendiri. Seolah-olah kelemahan yang ada belum mencukupi bagi mereka. Banyak dari Muslim hari ini pun mungkin hanya sanggup berdoa dan menangis saat mendengar apa yang terjadi di Palestina, ataupun di bumi-bumi Muslim yang lain. Bahkan mungkin banyak dari mereka yang tak peduli. “Toh mereka bukan saudara atau kawan saya,” gumam sebagian mereka, sambil sibuk mengirim dukungan SMS untuk salah satu kontestan Indonesian Idol atau sambil terkagum-kagum membolak-balik halaman buku yang ditulis oleh Irshad Manji.
Sejarah memang sering berulang. Dan seolah-olah syair yang ditulis oleh seorang penyair pada masa itu, sebagai respons atas kejatuhan al-Quds, kembali bergema pada hari ini:
“Putra-putra Islam, di belakangmu ada pertempuran yang di dalamnya kepala-kepala menggelinding di antara kakimu
Beraninya kalian tidur-tiduran di balik bayang-bayang keamanan, dalam hidup yang lembek seperti bunga-bungaan di taman?
Bagaimana mungkin mata dapat tertidur di balik pelupuknya di saat terjadi bencana yang akan membangkitkan setiap orang yang tidur?
Sementara saudara-saudara kalian di Suriah hanya dapat tidur di atas hewan-hewan tunggangan, atau di dalam perut burung-burung pemakan bangkai!”
Beraninya kalian tidur-tiduran di balik bayang-bayang keamanan, dalam hidup yang lembek seperti bunga-bungaan di taman?
Bagaimana mungkin mata dapat tertidur di balik pelupuknya di saat terjadi bencana yang akan membangkitkan setiap orang yang tidur?
Sementara saudara-saudara kalian di Suriah hanya dapat tidur di atas hewan-hewan tunggangan, atau di dalam perut burung-burung pemakan bangkai!”
Dan, seorang seorang penyair lainnya menulis bait yang menusuk ini:
“Tidakkah kalian berhutang kepada Allah dan Islam, untuk membela anak muda dan orang tua?
Jawablah kepada Tuhan! Terkutuklah kalian! Jawab!!!”
Jawablah kepada Tuhan! Terkutuklah kalian! Jawab!!!”
sumber : hidayatullah
Al-hamdulillah, hanya dalam 4 hari Ramadhan, 222 orang masuk Islam di Kuwait
Lajnah Ta'rif bi-Dienil Islam Kuwait melaporkan bahwa sejak awal
Ramadhan 1433H sampai hari keempat Ramadhan, sebanyak 222 pria dan
wanita telah memeluk Islam di Kuwait. Ratusan muallaf dan muallafah itu
berasal dari berbagai kewarga negaraan seperti Filiphina, Singapora,
Thailand, Vietnam, Myanmar, Kamboja, India, Srilangka, Bangladesh, Eropa
dan Amerika.
Lajnah Ta'rif bi-Dienil Islam adalah organisasi dakwah yang
berkecimpung dalam dunia tenaga kerja asing di Kuwait. Wakil ketua
Lajnah Ta'rif bi-Dienil Islam Kuwait, syaikh Abdul Aziz Ad-Du'aij,
menyatakan bahwa organisasi dakwah yang dikelolanya pada bulan Ramadhan
1433 H ini menggelar program dakwah dengan tema 'Dakwah adalah tanggung
jawab, sampaikanlah dakwah bersama kami!"
"Program dakwah ini bertujuan mengenalkan kepada kaum muslimin secara
luas urgensi dan keutamaan dakwah, serta mendorong mereka untuk
mengenalkan agama Islam ini kepada orang-orang non muslim dengan cara
bijaksana, nasehat yang baik dan mengenalkan kepada mereka pokok-pokok
ajaran Islam yang lapang dengan beragam sarana pengumuman yang
terang-terangan dan tersebar di setiap tempat. Di antaranya iklan di
media massa, siaran radio dan siaran TV. Lajnah kami mempergunakan
sarana-sarana tersebut untuk berdakwah dengan menggandeng sejumlah juru
dakwah terkenal di Kuwait seperti syaikh Ahmad Al-Qathan." ujar syaikh
Abdul Aziz Ad-Du'aij.
Ad-Du'aij menambahkan, "Tujuan pokok organisasi dakwah kami adalah
mendakwahi tenaga-tenaga kerja asing di sini melalui dakwah di media
massa dan sarana kampanye lainnya yang diterjemahkan ke dalam beragam
bahasa non Arab. Termasuk mengeluarkan kaset-kaset ceramah, video-video
ceramah, bulletin-buletin dan buku-buku saku dakwah yang didistribusikan
selama program yang kami gelar."
Menurut Ad-Du'aij, mushaf Al-Qur'an dan terjemahannya dalam beragam
bahasa memiliki andil yang sangat besar bagi banyak muallaf dan
muallafah. "Organisasi dakwah kami memfasilitasi hal itu secara materi
melalui sumbangan zakat, infak, wakaf dan partisipasi para dermawan.
Program ini mendapat respon positip para dermawan dari beragam lapisan
masyarakat."
Lajnah Ta'rif bi-Dienil Islam Kuwait mendakwahi para tenaga kerja
asing non muslim di Kuwait, memberikan bimbingan keagamaan kepada para
muallaf dan muallafah baru, dan memberikan pengajaran Bahasa Arab kepada
orang-orang non Arab.
Organisasi dakwah ini memiliki 15 cabang di seluruh Kuwait dan
menghimpun 85 juru dakwah Islam yang ahli bahasa asing. Setiap tahun
organisasi dakwah ini mendistribusikan lebih dari dua juta mushaf
Al-Qur'an dan terjemahannya dalam beragam bahasa dunia, kaset dan video
dakwah, bulletin dan buku dakwah kepada pekerja asing non muslim dan
kaum muallaf di Kuwait.
sumber : arrahamah
Tuesday 17 July 2012
Angkatan Laut Amerika Serikat Sulit Deteksi Kapal Selam Mini Militer Iran
Seorang mantan komandan Angkatan Laut AS mengatakan, militer Iran
memiliki armada kapal selam mini, yang sangat sulit dilacak dan
dideteksi oleh AL Amerika Serikat.
"Kapal selam mini Iran adalah masalah besar bagi kami," tulis situs
berita MinnPost mengutip keterangan pensiunan AL, Christopher Harmer,
yang pernah menjabat sebagai direktur operasi masa depan Armada Kelima
AS, yang berbasis di Bahrain, dari tahun 2008 sampai 2009.
"Mereka adalah ancaman bagi kami, karena mereka dapat menyebar di
sepanjang Teluk Persia dan Laut Arab, dan itu sangat sulit bagi kita
untuk melacak mereka," tambahnya.
Komandan Harmer
mengatakan bahwa Angkatan Laut AS lebih terbiasa untuk melacak kapal
besar – kapal selam kelas nuklir era Soviet – ini sesuatu yang diketahui
oleh Iran.
"Mencari kapal selam kecil di perairan
dangkal jauh lebih sulit, karena akustik sangat jauh lebih sulit, lebih
kecil menjadikan lebih sedikit tingkat kebisingan," katanya.
Selama beberapa tahun terakhir, Iran telah membuat terobosan penting di
sektor pertahanan dan mencapai swasembada dalam memproduksi peralatan
dan sistem militer penting.
sumber : irib
Sunday 8 July 2012
Militer Iran: “35 Basis Militer AS Dalam Jangkauan Rudal Kami!”
Iran memperingatkan bahwa "dalam
hitungan menit" negeri itu bakal menggempur basis-basis militer AS di
Timur Tengah beserta Israel dengan rudal-rudal mereka begitu diserang.
Ini terkait dengan sinyalemen dari Israel dan AS, yang akan mengerahkan
aksi militer bila masyarakat internasional tidak bisa membujuk Iran
melucuti teknologi nuklirnya lewat meja perundingan.
Menurut kantor berita Reuters,
peringatan itu dilontarkan Komandan Udara dari Korps Garda Revolusi
Iran, Amir Ali Haji Zadeh, seperti yang dilaporkan media massa setempat
Rabu kemarin. Iran pun pada hari itu memperpanjang sehari ujicoba
penembakan rudal balistik mereka.
"Basis-basis (AS) ini masuk
dalam jangkauan rudal kami, dan wilayah pendudukan (Israel) sasaran
empuk kami juga," kata Zadeh, yang dikutip kantor berita Iran, Fars.
"Kami telah mempertimbangkan pendirian basis-basis dan pengerahan rudal
untuk menghancurkan semua basis dalam hitungan menit begitu ada serangan
(ke Iran)," lanjut Zadeh.
Dia tidak menyebut secara rinci
pangkalan AS mana saja yang menjadi target rudal Iran. Namun Zadeh
mengungkapkan 35 basis militer AS berada dalam jangkauan rudal Iran,
yang mampu menjelajah hingga 2.000 km.
AS selama ini menempatkan
pangkalan militer di beberapa negara Timur Tengah dan sekitarnya,
seperti di Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Turki.
Washington pun memiliki sekitar sepuluh basis tambahan di Afganistan dan
Kyrgyzstan.
Sebelumnya, Israel sudah
mengisyaratkan bakal menyerang Iran bila jalan diplomasi gagal memaksa
Teheran melucuti teknologi nuklirnya. AS juga mengemukakan bahwa aksi
militer bisa menjadi pilihan terakhir, namun sejauh ini baru menerapkan
tekanan diplomatik dan penerapan sanksi ekonomi dan keuangan atas Iran.
Pemerintah Iran berkali-kali
menyatakan tidak mau melucuti teknologi nuklir karena berguna untuk
tujuan damai, seperti kepentingan riset dan pembangkit listrik. Namun,
AS dan Israel serta negara-negara Barat lain - yang juga pemilik senjata
nuklir - curiga Iran mengembangkan teknologi itu untuk membuat senjata
penghancur massal.
sumberh : atjehcyber
Saturday 7 July 2012
Download Kalender Pendidikan 2012/2013
Berikut ini kalender pendidikan 2012-2013 UNTUK TK/TKLB/RA, SD/SDLB/MI, SMP/SMPLB/MTs, SMA/SMALB/MA/SMK DAN YANG SEDERAJAT
silahkan download di link berikut http://www.4shared.com/file/1JyJccYl/KALENDER_2012-13Rev1-3.html
Thursday 5 July 2012
Militer Iran Produksi Rudal dengan Kecepatan Tinggi
Seorang komandan senior Republik Islam Iran mengatakan, dalam waktu
dekat Tehran akan mengenalkan rudal balistik baru dengan kecepatan
tinggi.
Brigjen Amir Ali Hajizadeh, Komandan Pasukan Garda
Revolusi Islam Iran (IRGC) divisi aerospace pada Ahad (1/7),
menandaskan, dalam waktu dekat, Iran akan memperkenalkan sebuah rudal
balistik baru dengan jangkauan 300 kilometer dan mampu bergerak cepat
lebih dari tiga kali kecepatan suara.
Ia menambahkan, rudal tersebut memiliki kapasitas untuk menargetkan perisai pertahanan dan sistem radar serta dapat menghancurkan sistem anti-rudal Israel yang dikenal sebagai Iron Dome (Kubah Besi).
Rezim Zionis Israel berulang kali mengancam akan menyerang Iran dengan dalih tuduhan Barat bahwa ada penyelewengan dalam program nuklir Tehran.
Tehran membantah tuduhan tersebut, dengan alasan bahwa sebagai penandatangan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan anggota Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Iran berhak untuk mengembangkan dan memperoleh teknologi nuklir demi tujuan sipil. (IRIB Indonesia/RA)
Ia menambahkan, rudal tersebut memiliki kapasitas untuk menargetkan perisai pertahanan dan sistem radar serta dapat menghancurkan sistem anti-rudal Israel yang dikenal sebagai Iron Dome (Kubah Besi).
Rezim Zionis Israel berulang kali mengancam akan menyerang Iran dengan dalih tuduhan Barat bahwa ada penyelewengan dalam program nuklir Tehran.
Tehran membantah tuduhan tersebut, dengan alasan bahwa sebagai penandatangan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan anggota Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Iran berhak untuk mengembangkan dan memperoleh teknologi nuklir demi tujuan sipil. (IRIB Indonesia/RA)
sumber : irib
Militer Iran Ungkap Temuan Baru Pesawat Siluman AS
Menteri Pertahanan Iran Jenderal Ahmad Vahidi mengatakan, Iran telah
memperoleh akses ke rincian baru dari pesawat tanpa awak Amerika Serikat
RQ-170, yang dibajak tahun lalu.
Dia mengatakan,
pembedahan sedang dilakukan terhadap pesawat tanpa awak AS untuk
memperoleh informasi baru dan data teknis. Namun, kami tidak punya
rencana untuk merilisnya ke publik. Demikian dilaporkan IRNA, Ahad
(1/7).
Berbicara tentang protes Iran kepada Rusia
karena penolakan Moskow untuk menyerahkan sistem pertahanan rudal S-300
ke Tehran, Vahidi menuturkan, badan-badan hukum internasional sedang
mempelajari kasus ini dan sebuah kewajaran jika membutuhkan waktu lama
bagi institusi internasional.
Pada kesempatan itu,
Vahidi juga menyinggung masalah keamanan di Teluk Persia dan mengatakan,
Iran sejauh ini menjadi satu-satunya penjamin keamanan di kawasan itu
dan akan menghadapi semua pihak yang membahayakan perairan tersebut.
Vahidi mencatat bahwa Iran sangat sensitif terhadap Selat Hormuz dan
memantau dengan teliti atas setiap perkembangan di sana. (IRIB
Indonesia/RM/MF)
sumber : irib
Subscribe to:
Posts (Atom)