Wednesday 11 December 2013

Slamet Suradio, Saksi Hidup tragedi Bintaro 1 (1987)

Slamet Suradio bukan saja merupakan salah satu saksi hidup tragedi bintaro I, akan tetatpi dia juga merupakan masinis salah satu kereta yang mengalami tabarakan dalam tragedi bintaro I.

Tragedi Bintaro I adalah peristiwa tabrakan hebat dua buah kereta api di daerah Pondok Betung, Bintaro, Tangerang, pada tanggal 19 Oktober 1987 yang merupakan kecelakaan terburuk dalam sejarah perkeretaapian diIndonesia. Peristiwa ini juga menyita perhatian publik dunia.
Sebuah kereta api yang berangkat dari Rangkasbitung, bertabrakan dengan kereta api yang berangkat dari Stasiun Tanah Abang. Peristiwa ini tercatat sebagai salah satu musibah paling buruk dalam sejarah transportasi diIndonesia.

19 Oktober 1987, KA 225 (Rangkasbitung-Jakarta Kota) yang dimasinisi Slamet Suradio bertabrakan secara frontal dengan KA 220 (Tanah Abang-Merak) di kawasan Bintaro, Tangerang.
Akibatnya, 156 orang tewas mengenaskan dan sekitar 300 korban lain mengalami luka-luka.


BB 30609 (kiri) bersama BB 30316 (kanan) yang terlibat tabrakan

Penyelidikan setelah kejadian menunjukkan adanya kelalaian petugas Stasiun Sudimara yang memberikan Sinyal aman bagi kereta api dari arah Rangkasbitung, padahal tidak ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran. Hal ini dilakukan karena penuhnya jalur di stasiun Sudimara.

Slamet lalu ditetapkan sebagai salah seorang tersangka dalam insiden tersebut. Dia akhirnya divonis lima tahun penjara. Dia dianggap bersalah. Selain Slamet menjalani hukuman di balik terali besi, karir sebagai masinis langsung mandek. Dia diberhentikan dari pekerjaan itu. Setelah menuntaskan hukuman, dia memilih pulang ke kampung halaman di Purworejo.
Slamet kini tinggal di sebuah rumah sederhana di Dusun Krajan Kidul, RT 02/RW 02 Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo. Dia menghabiskan sisa hidupnya dalam kemiskinan dengan berjualan rokok eceran di rumah itu.

"Hingga kini saya masih sering trauma dan miris jika mendengar kabar kecelakaan kereta api. Sebagai mantan masinis, saya bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh seorang masinis yang mendapatkan musibah hebat seperti itu," kenang dia. 


Kronologi Tabrakan Kereta (Tragedi Bintaro I)
Lelaki lanjut usia itu masih mampu mengingat dengan jelas detail tragedi Bintaro yang melibatkan dirinya. Slamet mengisahkan, tragedi Bintaro terjadi Senin Pon, 19 Oktober 1987, pukul 07.30. Saat kejadian, Slamet berada di lokomotif KRD 225.

Kecelakaan terjadi di antara Stasiun Pondokranji dan Pemakaman Tanah Kusir, Sebelah Utara SMUN 86 Bintaro. Di dekat tikungan melengkung Tol Bintaro, tepatnya di lengkungan S, berjarak kurang lebih 200 m setelah palang pintu Pondok Betung dan ± 8 km sebelum Stasiun Sudimara.


Peristiwa bermula atas kesalahan kepala stasiun Serpong memberangkatkan KA 225 ke Stasiun Sudimara, tanpa mengecek kepenuhan jalur KA di Stasiun Sudimara. Sehingga, ketika KRD no.KA 225, jurusan Rangkasbitung-Jakarta Kota, tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 6:45 WIB, stasiun Sudimara yang punya 3 jalur saat itu penuh dengan KA.
  • KA 225 di jalur 1.
  • KA Indocement hendak ke arah Jakarta juga, di jalur 2.
  • Di jalur 3 ada KA barang tanpa lokomotif.
KA 225 sedianya bersilang dengan KA 220 Patas di stasiun Kebayoran yang hendak ke Merak. Itu berarti KA 220 Patas di stasiun Kebayoran harus mengalah. Kepala Stasiun Sudimara pun lantas memerintahkan masinis KRD 225 dilansir masuk jalur 1 (jalur lurus/lacu). 

Selang 5 menit kemudian, Djamhari, petugas PPKA Stasiun Sudimara menerima telepon dari Umrihadi, Petugas PPKA stasiun Kebayoran Lama yang mengabarkan KA no.220 jurusan Tanahabang-Merak sudah berangkat menuju Sudimara. Kemudian Djamhari mengejar KA 225 dengan berlari sambil mengibarkan bendera merah. 

Tak ayal kecepatan KA di atas 50 km/jam tidak mampu dikejar Djamhari. Dua kereta api yang sama-sama sarat penumpang, Senin pagi itu bertabrakan di lokasi ± Km 18.75. Kedua kereta hancur, terguling dan ringsek. Kedua lokomotif dengan seri BB 30316 dan BB 30616 rusak berat. Jumlah korban jiwa ± 156 orang, dan ratusan penumpang lainnya luka-luka.




Bencana di Atas Ka 225 dari Rangkasbitung bertabrakan dengan KA 220 dari Jakarta di Pondok Betung, Jak-Sel. Lebih dari 100 korban meninggal. Kedua gerbong terdepan meluncur menelan kedua lokomotif yang berciuman.

TIBA-tiba Wartini berteriak, “Kereta… kereta….” Semua pembeli lontong di warung wanita bertubuh gemuk itu menoleh ke belakang, ke arah rel 30-an meter di depan. Dua kereta api masing-masing sarat penumpang melaju dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi. Dan, “glegarrr,” tanah di sekitar warung pun bergetar. Wartini menjerit, “Astagfirullah …,” lalu ia jatuh pingsan. Orang-orang pun berdatangan, terkesima, kaget, tak percaya, ngeri.

Di Desa Pondok Betung, 4 km dari stasiun Kebayoran Lama, kawasan pinggir barat Jakarta Selatan, musibah itu terjadi. Pagi, pukul 07.05, 19 Oktober, Senin pekan ini. Seketika daerah itu menjadi ramai. Ramai oleh mereka yang dengan sukarela mencari alat apa saja untuk menolong korban bencana kereta api terbesar sepanjang sejarah perkeretaapian di Indonesia. Dan pemandangan di sekitar titik tubrukan sungguh mirip mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan.

Di titik itulah KA 225 dari Rangkasbitung, Jawa Barat, dengan sekitar 700 penumpang adu kepala dengan kereta api KA 220 yang membawa 500-an penumpang yang datang dari stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat. Jumlah penumpang itu diperoleh dari sumber PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api). Artinya, belum terhitung penumpang gelap yang biasa berjejal, menempel di pinggiran lokomotif atau bertengger di atap gerbong-gerbong bercat hijau itu.

Sampai Senin tengah hari sudah lebih dari 100 korban yang meninggal dunia, 300-an orang luka berat dan ringan. Jumlah ini pasti bertambah, karena di dalam gerbong yang ringsek masih 20-an korban meninggal tapi belum bisa dikeluarkan.

Tertindih besi-besi yang tak keruan lagi malang-melintangnya, seorang ayah dan anak laki-lakinya berumur 10-an tahun tampak masih bernapas. “Saya belum akan pulang sampai dua orang itu jelas nasibnya,” kata Kapolda Poedy Syamsudin, yang langsung berada di tempat musibah.

Tujuh rumah sakit terdekat — RS Fatmawati, RS Setia Mitra, RS TNI-AL Mintoharjo, RS Pertamina, RS Pondok Indah, RS Jakarta, dan RS Cipto Mangunkusumo — menjadi tempat penampungan. Hari itu juga Presiden Soeharto mengunjungi para korban di RS Cipto Mangunkusumo.


Darah berceceran, di beberapa tempat menggenang. Potongan tubuh manusia berserakan. Di sebuah gerbong ditemukan potongan kaki dan tangan berselemak darah, entah tubuhnya berada di mana. Bau amis menyengat hidung. Raungan, jeritan, dan tangis korban yang masih dikaruniai hidup mengiris hati.



Di sebuah atap gerbong, seorang lelaki setengah baya terjepit dan putus asa. “Pooo…tong saja kaki saya,” pintanya dengan sengsara kepada sejumlah petugas yang mencoba menolongnya. Tak berapa lama si malang mengembuskan napas terakhirnya.




Tiga anak berumur sekitar lima tahun diketahui bernama Juned, Aswadi, dan Makmur, yang juga terjepit tak menjerit. “Minta air, Om,” kata salah seorang di antaranya kepada seorang polisi. Ketiganya baru bisa dikeluarkan pukul 20.00, lebih dari 12 jam kemudian.


Ketika matahari mulai menyengat, korban yang masih hidup, tubuh-tubuh yang menyembul di antara gerbong, dipayungi dengan kertas koran.

Siang itu sebuah lokomotif didatangkan untuk menyeret gerbong yang saling menjepit. Tapi rencana dibatalkan karena khawatir puluhan korban yang tergencet di dalam akan tambah remuk. “Selama masih ada yang hidup, gerbong itu tidak boleh digerakkan sampai kapan pun,” kata Menteri Perhubungan Rusmin Nurjadin di lokasi kecelakaan, Senin sore.




Begitu dahsyatnya tabrakan itu hingga dua gerbong terdepan dari KA 225 meluncur menelan kedua lokomotif yang berciuman, seakan ular menelan tikus. Di kedua gerbong inilah banyak korban tergencet, bak daging tercincang. Normalnya, kedua gerbong berkapasitas 166 penumpang. Kenyataannya, tentulah lebih dari itu. Gergaji besi mesin dan mesin pengelas didatangkan guna membongkar gerbong.

Sementara itu, bangku-bangku kereta yang berserakan dijadikan tandu untuk mengangkuti korban ke balai desa 200-an meter dari tempat itu. Mayat-mayat dijejerkan menunggu puluhan ambulans yang sibuk. Sejumlah mobil pribadi ikut membantu.

Helikopter polisi meraung-raung mengawasi keadaan dan siap mengangkut korban yang kritis. Beberapa sekolah SMP dan SMA di dekat tempat kejadian diliburkan, siswanya dikerahkan membantu.
Apa yang sebenarnya terjadi? Bertahun, mungkin berpuluh tahun, jalur kereta api di situ aman. Wartini, penjual lontong, saksi mata itu, pun heran, “Biasanya kereta api dari Rangkasbitung menunggu dulu di Sudimara. Saya heran kali ini kok dia jalan terus,” kata pemilik rumah di tepi rel itu.
 
Penumpang kereta dari Rangkasbitung yang berangkat pukul 05.00 subuh paling banyak pedagang kecil dan anak-anak sekolah. Biasanya kereta ini berhenti di stasiun Sudimara pada pukul 06.40, menunggu kereta dari Tanah Abang, yang biasanya melintas sembilan menit kemudian.

Menurut catatan yang diperoleh TEMPO, di hari maut itu KA 225 seperti biasa menunggu di Sudimara. Tapi KA 220 yang ditunggu tak juga datang. Mestinya — kalau semua berjalan sesuai dengan jadwal — pada pukul 06.50, KA 225 sudah meninggalkan Sudimara menuju Tanah Abang. Setelah menunggu sampai 06.55 dan kereta dari Tanah Abang tak juga nongol, maka bergeraklah kereta dari Rangkasbitung itu.


Memang, KA 220 terlambat 11 menit dengan sebab yang belum jelas. Stasiun Kebayoran Baru dilewatinya seperti biasanya. Seandainya rel kereta di 4 km kemudian tak menikung, bisa jadi tubrukan tak sedahsyat yang terjadi. Tapi siapa menduga pagi itu maut telah menunggu? Tiba-tiba saja, begitu kereta menikung, di depan sudah terlihat KA 225 meluncur, dan….

Pengusutan, seperti dikatakan Menteri Rusmin Nurjadin, difokuskan pada “Entah mengapa KA 225 meneruskan perjalanannya dari Sudimara”. Hal itu disebut Menteri sebagai suatu “kelainan” dan sedang diusut oleh Gappka (Gabungan Penyelidikan Peristiwa Kecelakaan Kereta Api). Hari itu juga Menteri Rusmin memerintahkan agar seluruh jadwal perjalanan kereta api di Indonesia dicek, tanpa kecuali.


Menurut sumber TEMPO, petugas di Sudimara tak pernah memberikan aba-aba berangkat pada KA 225. Padahal, tanpa aba-aba dari pimpinan perjalanan kereta api berupa tiupan peluit dan lambaian sinyal kayu bundar berwarna hijau — kereta api dilarang berangkat.

Adalah Ir. Endang Sukaesih, 27 tahun penduduk perumahan Pondok Pucung, Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang, agaknya bisa sedikit menjelaskan. Pagi itu, pegawai Badan Pemeriksa Keuangan yang biasanya naik KA 225 itu terlambat. Dia mencoba mengejar kereta yang mulai berjalan. 

Seorang petugas stasiun berteriak, “Tak usah buru-buru, kereta cuma langsir.” Endang berhenti mengejar. Tapi kereta ternyata terus melaju meninggalkan stasiun. Semula Endang ingin marah, merasa ditipu. Urung, karena melihat petugas stasiun sendiri kalang-kabut. Ada yang berkata “Wah, ini bisa tabrakan.” Endang melihat seorang petugas mengejar kereta itu dengan sepeda motor. Tak berhasil. Siangnya, Endang mendengar musibah kereta api itu. Dia kontan pingsan.

Tak jelas, setelah gagal mengejar kereta, adakah Sudimara menghubungi stasiun pertama yang akan dilewati KA 225 itu. Harap dicatat stasiun kereta api itu masih berada di wilayah Jakarta, tapi masih memakai telegram sebagai alat komunikasi antarstasiun. Tak ada hubungan telepon. “Faktor itu kemungkinan menghambat komunikasi,” kata Haji Burhanuddin Wahab, Humas Departemen Perhubungan.

Mudah-mudahan, semua itu tak akan sulit diungkapkan. Masinis Amung Sunarya dan pembantunya Mujiono dari KA 225, juga masinis KA 220, Selamet dan pembantunya Saleh, selamat dari musibah. Diduga mereka meloncat dari lokomotif sebelum tabrakan terjadi. Mereka sekarang dimintai keterangan oleh Gappka.

Tinggal pertanyaan yang susah dijawab. Mengapa dalam tiga hari terjadi musibah dengan korban cukup besar: kebakaran dan tubrukan kereta.

sumber : http://charleskkb.blogspot.com; http://indocropcircles.wordpress.com; http://wikewidiawati.wordpress.com; http://www.jpnn.com

No comments:

Post a Comment